Nama : Hana Intan Fadhilah
NPM : 23213864
Kelas : 4EB10
ARTIKEL
1
DIREKTORAT
PERPAJAKAN INTERNASIONAL HARUS CEGAH TERJADINYA “PENGEMPLANGAN” PAJAK
Direktorat Jenderal Pajak
baru saja membentuk dua unit baru setingkat eselon II. Unit baru tersebut
adalah Direktorat Perpajakan Internasional dan Direktorat Intelijen Perpajakan.
Terkhusus untuk Direktorat Pajak
Internasional, pemerintah sengaja membentuknya mengingat banyaknya perusahaan
asing over the top yang tidak membayar pajak di Indonesia. Untuk itu,
ditargetkan dapat melakukan pungutan pajak secara efektif terhadap perusahaan
asing ini.
Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation
Analysis (CITA) Yustinus Prastowo menilai, dibentuknya Direktorat Perpajakan
Internasional merupakan respons tepat terkait dinamika perpajakan dunia.
Terlebih, sebentar lagi pertukaran informasi atau automatic exchange of
information (AEoI) akan segera diimplementasikan antar negara.
"Saya kira tepat untuk merespons dinamika
perpajakan internasional yang semakin penting, khususnya menghadapi era
automatic exchange of information," jelas dia saat dihubungi Okezone
di Jakarta, Rabu (2/3/2016).
Menurutnya, hal ini juga akan membantu
negara-negara lain untuk mendeteksi wajib pajak yang ada di luar wilayah.
Indonesia pun juga diuntungkan agar mencegah adanya penghindaran pajak.
Sebagai informasi, Direktorat ini terdiri dari
tiga subdirektorat, yaitu subdirektorat perjanjian dan kerjasama perpajakan
internasional, subdirektorat pencegahan dan penanganan sengketa perpajakan
internasional (Mutual Agreement Procedures dan Advance Pricing Agreement),
serta subdirektorat pertukaran informasi perpajakan internasional (exchange of
information).
ARTIKEL
2
RI DUKUNG SISTEM PERPAJAKAN INTERNASIONAL
Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyampaikan Indonesia
mendorong dibentuknya sistem perpajakan internasional yang adil dan transparan.
Hal itu disampaikan Jokowi saat menjadi pembicara
utama pada sesi kedua di tengah pertemuan KTT G-20 yang berlangsung di Hangzhou
International Expo Center, Tiongkok, Senin (5/9/2016).
Kepada sejumlah negara anggota G20, Jokowi juga menyatakan bahwa Indonesia turut mengimbau setiap negara untuk tidak membuat kebijakan yang merugikan negara lain.
"Mengingat perlambatan ekonomi global, Indonesia berkomitmen untuk meningkatkan pendapatan pajak kita dalam menjaga iklim bisnis dan investasi. Hal ini membutuhkan sistem perpajakan internasional yang adil dan transparan," kata Jokowi.
Presiden menambahkan, kebutuhan akan kerja sama internasional dalam sistem perpajakan tersebut berguna untuk menghindari adanya penghindaran pajak dan mendorong kebijakan pajak yang kondusif di masing-masing negara anggota.
Ia memercayai bahwa sistem tersebut pada akhirnya mampu meningkatkan pendapatan bagi negara-negara berkembang.
Oleh karena itu, Jokowi mendukung kerjasama dan
koordinasi antar negara-negara anggota G20 guna mewujudkan hal tersebut.
Adapun bentuk dukungan kerja sama yang dimaksud oleh Jokowi ialah implementasi dari Automatic Exchange of Information (AEoI), atau yang biasa disebut dengan keterbukaan informasi untuk kepentingan perpajakan.
"Saya percaya, transparansi keuangan melalui AEoI akan bermanfaat dalam mengatasi arus keuangan terlarang yang telah menghasilkan kerugian bagi negara-negara berkembang selama bertahun-tahun," imbuhnya.
Sumber : inilah.com (Jakarta, 5 September 2016)
http://www.klinikpajak.co.id/berita+detail/?id=berita+pajak+-+jokowi%3A+ri+dukung+sistem+pajak+internasional
ARTIKEL
3
MEMAHAMI
PERSOALAN PAJAK GLOBAL
Persoalan terkait pajak internasional seperti
persaingan pajak (tax competition), negara tax haven, serta
ketimpangan distribusi pendapatan kerap kali merugikan baik negara maju, dan
terutama negara berkembang. Lantas, bagaimanakah para pengambil kebijakan
menyikapi hal ini?
Buku bertajuk Global Tax Fairness ini
memaparkan usulan dari berbagai kontributor ahli untuk memperbaiki sistem pajak
internasional. Buku terbitan Oxford University Press pada tahun 2016 ini sangat
menarik karena solusi yang ditawarkan tidak terbatas hanya pada solusi yang
sering dibahas oleh organisasi internasional seperti OECD, namun juga usulan
yang mungkin sedikit asing atau tidak pernah digagas sebelumnya.
Dalam salah satu bab, Vito Tanzi
menjelaskan perlunya dibentuk Otoritas Pajak Global (Global Tax Authority).
Menurutnya, dalam era globalisasi di mana telah banyak muncul organisasi
internasional yang menangani berbagai isu, belum ada sebuah organisasi yang
mengatur hubungan perpajakan antarnegara, menangani masalah persaingan pajak,
serta membatasi kesempatan untuk melakukan penghindaran pajak secara global (global
tax evasion).
Nantinya, terdapat sembilan fungsi otoritas ini,
mulai dari mengidentifikasi permasalahan di bidang pajak internasional,
mengumpulkan informasi dan statistik perpajakan dari berbagai negara serta
memublikasikannya dalam sebuah laporan, sampai yang paling penting yakni membuat
sistem pengawasan kebijakan pajak di berbagai negara.
Vito Tanzi berpendapat bahwa tanpa adanya
institusi seperti Otoritas Pajak Global, permasalahan terkait kompetisi pajak
yang tidak adil dan penghindaran pajak akan selalu ada.
Buku yang disunting oleh Thomas Pogge dan Krishen
Mehta ini menekankan persaingan pajak (tax competition) adalah sebuah
isu serius, karena merupakan suatu obsesi yang berbahaya. Berbagai negara
bersaing untuk menurunkan tarif pajak mereka, memperkecil basis pajak, serta
melemahkan pelaksanaan peraturan pajak (race to the bottom).
Persaingan pajak kemudian dianggap membuat arus investasi terfokus pada wilayah
yang menyediakan berbagai insentif daripada wilayah dengan produktifitas
ekonomi yang tinggi.
Pentingnya isu persaingan pajak juga diulas oleh
Michael C. Durst dalam artikelnya. Menurutnya, menurunnya tarif pajak badan
memiliki pengaruh yang besar bagi negara berkembang. Jika negara maju dapat
mengalihkan beban pajak tersebut kepada sektor lain seperti pajak individu atau
pajak konsumsi, penerimaan pajak negara berkembang cenderung bertumpu pada
pajak badan.
Hal ini disebabkan karena perekonomian negara
berkembang masih didominasi oleh sektor informal dengan pembukuan sederhana
yang sulit untuk memfasilitasi kebutuhan otoritas pajak atas laporan pajak.
Selain pembahasan di atas, terdapat usulan-usulan
lain seperti Financial Transaction Tax (FTT) dan pajak untuk kekayaan
anonim (Anonymous Wealth Tax) sebagai solusi untuk mengurangi
permasalahan distribusi pendapatan.
Usulan pemajakan atas ‘kekayaan tak bertuan’
terbilang unik karena pemilik harta dapat mengambil kembali sebagian porsi
pajak tersebut saat ia telah menyelesaikan kewajiban perpajakan dalam negeri
dan aset yang dimiliki di negara lain berasal dari sumber yang sah. Pendapatan
dari pajak tersebut kemudian akan dialokasikan untuk membiayai penanganan isu
global seperti perubahan iklim sebagai kompensasi atas penghindaran pajak yang
telah dilakukan.
Sebagai penutup, terdapat pemaparan mengenai 10
cara bagi negara berkembang agar dapat menarik investasi asing sekaligus
mempertahankan kedaulatan pajaknya.
Selain rekomendasi untuk menghindari persaingan
pajak dan insentif pajak, penulis memberikan usulan lain kepada negara
berkembang, mulai dari usulan untuk lebih berhati-hati dalam menyepakati
perjanjian bilateral pajak atau tax treaty, mengenakan withholding
tax bagi non-residen, mengatur sebuah kesepakatan yang adil dengan
investor di industri ekstraktif, penggunaan profit split method dalam transfer
pricing, sampai saran untuk memajaki sektor informal.
Secara keseluruhan, para kontributor mengajak
pembaca untuk semakin peduli dengan permasalahan pajak internasional dan
dampaknya terutama terhadap negara berkembang. Buku ini sesuai untuk dibaca
para pengambil kebijakan dan tersedia di DDTC Library.
http://news.ddtc.co.id/artikel/8195/pajak-internasional-memahami-persoalan-pajak-global/