Kamis, 25 Mei 2017

AKUNTANSI INTERNASIONAL - Tugas 3 (artikel)


Nama : Hana Intan Fadhilah
NPM  : 23213864
Kelas : 4EB10



ARTIKEL 1

DIREKTORAT PERPAJAKAN INTERNASIONAL HARUS CEGAH TERJADINYA “PENGEMPLANGAN” PAJAK

Direktorat Jenderal Pajak baru saja membentuk dua unit baru setingkat eselon II. Unit baru tersebut adalah Direktorat Perpajakan Internasional dan Direktorat Intelijen Perpajakan.
Terkhusus untuk Direktorat Pajak Internasional, pemerintah sengaja membentuknya mengingat banyaknya perusahaan asing over the top yang tidak membayar pajak di Indonesia. Untuk itu, ditargetkan dapat melakukan pungutan pajak secara efektif terhadap perusahaan asing ini.
Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo menilai, dibentuknya Direktorat Perpajakan Internasional merupakan respons tepat terkait dinamika perpajakan dunia. Terlebih, sebentar lagi pertukaran informasi atau automatic exchange of information (AEoI) akan segera diimplementasikan antar negara.
"Saya kira tepat untuk merespons dinamika perpajakan internasional yang semakin penting, khususnya menghadapi era automatic exchange of information," jelas dia saat dihubungi Okezone di Jakarta, Rabu (2/3/2016).
Menurutnya, hal ini juga akan membantu negara-negara lain untuk mendeteksi wajib pajak yang ada di luar wilayah. Indonesia pun juga diuntungkan agar mencegah adanya penghindaran pajak.
Sebagai informasi, Direktorat ini terdiri dari tiga subdirektorat, yaitu subdirektorat perjanjian dan kerjasama perpajakan internasional, subdirektorat pencegahan dan penanganan sengketa perpajakan internasional (Mutual Agreement Procedures dan Advance Pricing Agreement), serta subdirektorat pertukaran informasi perpajakan internasional (exchange of information).





ARTIKEL 2

RI DUKUNG SISTEM PERPAJAKAN INTERNASIONAL

Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyampaikan Indonesia mendorong dibentuknya sistem perpajakan internasional yang adil dan transparan.
Hal itu disampaikan Jokowi saat menjadi pembicara utama pada sesi kedua di tengah pertemuan KTT G-20 yang berlangsung di Hangzhou International Expo Center, Tiongkok, Senin (5/9/2016).

Kepada sejumlah negara anggota G20, Jokowi juga menyatakan bahwa Indonesia turut mengimbau setiap negara untuk tidak membuat kebijakan yang merugikan negara lain.

"Mengingat perlambatan ekonomi global, Indonesia berkomitmen untuk meningkatkan pendapatan pajak kita dalam menjaga iklim bisnis dan investasi. Hal ini membutuhkan sistem perpajakan internasional yang adil dan transparan," kata Jokowi.


Presiden menambahkan, kebutuhan akan kerja sama internasional dalam sistem perpajakan tersebut berguna untuk menghindari adanya penghindaran pajak dan mendorong kebijakan pajak yang kondusif di masing-masing negara anggota.

Ia memercayai bahwa sistem tersebut pada akhirnya mampu meningkatkan pendapatan bagi negara-negara berkembang.

Oleh karena itu, Jokowi mendukung kerjasama dan koordinasi antar negara-negara anggota G20 guna mewujudkan hal tersebut.

Adapun bentuk dukungan kerja sama yang dimaksud oleh Jokowi ialah implementasi dari Automatic Exchange of Information (AEoI), atau yang biasa disebut dengan keterbukaan informasi untuk kepentingan perpajakan.

"Saya percaya, transparansi keuangan melalui AEoI akan bermanfaat dalam mengatasi arus keuangan terlarang yang telah menghasilkan kerugian bagi negara-negara berkembang selama bertahun-tahun," imbuhnya.

Sumber : inilah.com (Jakarta, 5 September 2016)


http://www.klinikpajak.co.id/berita+detail/?id=berita+pajak+-+jokowi%3A+ri+dukung+sistem+pajak+internasional





ARTIKEL 3

MEMAHAMI PERSOALAN PAJAK GLOBAL

Persoalan terkait pajak internasional seperti persaingan pajak (tax competition), negara tax haven, serta ketimpangan distribusi pendapatan kerap kali merugikan baik negara maju, dan terutama negara berkembang. Lantas, bagaimanakah para pengambil kebijakan menyikapi hal ini?
Buku bertajuk Global Tax Fairness ini memaparkan usulan dari berbagai kontributor ahli untuk memperbaiki sistem pajak internasional. Buku terbitan Oxford University Press pada tahun 2016 ini sangat menarik karena solusi yang ditawarkan tidak terbatas hanya pada solusi yang sering dibahas oleh organisasi internasional seperti OECD, namun juga usulan yang mungkin sedikit asing atau tidak pernah digagas sebelumnya.
Dalam salah satu bab, Vito Tanzi menjelaskan perlunya dibentuk Otoritas Pajak Global (Global Tax Authority). Menurutnya, dalam era globalisasi di mana telah banyak muncul organisasi internasional yang menangani berbagai isu, belum ada sebuah organisasi yang mengatur hubungan perpajakan antarnegara, menangani masalah persaingan pajak, serta membatasi kesempatan untuk melakukan penghindaran pajak secara global (global tax evasion). 
Nantinya, terdapat sembilan fungsi otoritas ini, mulai dari mengidentifikasi permasalahan di bidang pajak internasional, mengumpulkan informasi dan statistik perpajakan dari berbagai negara serta memublikasikannya dalam sebuah laporan, sampai yang paling penting yakni membuat sistem pengawasan kebijakan pajak di berbagai negara.
Vito Tanzi berpendapat bahwa tanpa adanya institusi seperti Otoritas Pajak Global, permasalahan terkait kompetisi pajak yang tidak adil dan penghindaran pajak akan selalu ada.
Buku yang disunting oleh Thomas Pogge dan Krishen Mehta ini menekankan persaingan pajak (tax competition) adalah sebuah isu serius, karena merupakan suatu obsesi yang berbahaya. Berbagai negara bersaing untuk menurunkan tarif pajak mereka, memperkecil basis pajak, serta melemahkan pelaksanaan peraturan pajak (race to the bottom). Persaingan pajak kemudian dianggap membuat arus investasi terfokus pada wilayah yang menyediakan berbagai insentif daripada wilayah dengan produktifitas ekonomi yang tinggi.
Pentingnya isu persaingan pajak juga diulas oleh Michael C. Durst dalam artikelnya. Menurutnya, menurunnya tarif pajak badan memiliki pengaruh yang besar bagi negara berkembang. Jika negara maju dapat mengalihkan beban pajak tersebut kepada sektor lain seperti pajak individu atau pajak konsumsi, penerimaan pajak negara berkembang cenderung bertumpu pada pajak badan.
Hal ini disebabkan karena perekonomian negara berkembang masih didominasi oleh sektor informal dengan pembukuan sederhana yang sulit untuk memfasilitasi kebutuhan otoritas pajak atas laporan pajak.
Selain pembahasan di atas, terdapat usulan-usulan lain seperti Financial Transaction Tax (FTT) dan pajak untuk kekayaan anonim (Anonymous Wealth Tax) sebagai solusi untuk mengurangi permasalahan distribusi pendapatan.
Usulan pemajakan atas ‘kekayaan tak bertuan’ terbilang unik karena pemilik harta dapat mengambil kembali sebagian porsi pajak tersebut saat ia telah menyelesaikan kewajiban perpajakan dalam negeri dan aset yang dimiliki di negara lain berasal dari sumber yang sah. Pendapatan dari pajak tersebut kemudian akan dialokasikan untuk membiayai penanganan isu global seperti perubahan iklim sebagai kompensasi atas penghindaran pajak yang telah dilakukan.   
Sebagai penutup, terdapat pemaparan mengenai 10 cara bagi negara berkembang agar dapat menarik investasi asing sekaligus mempertahankan kedaulatan pajaknya.
Selain rekomendasi untuk menghindari persaingan pajak dan insentif pajak, penulis memberikan usulan lain kepada negara berkembang, mulai dari usulan untuk lebih berhati-hati dalam menyepakati perjanjian bilateral pajak atau tax treaty, mengenakan withholding tax bagi non-residen, mengatur sebuah kesepakatan yang adil dengan investor di industri ekstraktif, penggunaan profit split method dalam transfer pricing, sampai saran untuk memajaki sektor informal.
Secara keseluruhan, para kontributor mengajak pembaca untuk semakin peduli dengan permasalahan pajak internasional dan dampaknya terutama terhadap negara berkembang. Buku ini sesuai untuk dibaca para pengambil kebijakan dan tersedia di DDTC Library.

http://news.ddtc.co.id/artikel/8195/pajak-internasional-memahami-persoalan-pajak-global/